HUKUM MAKELAR DALAM ISLAM
v Pengertian Makelar
Makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam
bidang jual beli.
Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara
perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual
beli. (Zuhdi, 1993: 121)
Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang
orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa
menanggungresiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah penengah antara penjual
dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli tersebut. (Mujtaba, 2007:
239)
Dalam persoalan ini, kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi makelar
(perantara) mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil pekerjaannya
itu. Demikian juga orang yang memerlukan jasa mereka, mendapat kemudahan,
karena ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya. Pekerjaan
semacam ini, mengandung unsur tolong menolong.
Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak ada cacat dan celanya dan
sejalan dengan ajaran islam. Pada zaman sekarang ini,pengertian perantara sudah
lebih meluas lagi, sudah bergeser kepada jasa pengacara, jasa konsultan, tidak
lagi hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli
saja, dan tidak hanya menemukan barang yang di cari dan menjualkan barang saja.
Dengan demikian imbalan jasanya juga harus di tetapkan bersama terlebih dahulu,
Apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya kalau nilainya besar,
ditangani lebih dahulu perjanjiannya di hadapan notaris.(Hasan, 1997: 88).
Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah,
yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau
suatu pekerjaan seperti pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya
dengan imbalan.
Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan
makelar ini, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1.
Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana
dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29
Allah Swt berfirman:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ :
29). (Depag RI, 2005)
2.
Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara
nyata dan dapat diserahkan
3.
Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau haram.
((Zuhdi, 1993: 121-122)
Makelar harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan
dan bisnis yang haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang
makelar setelah ia memenuh akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar
harus memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat
meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. (Tjiptoherijanto, 1997:
100)
Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut
perjanjian sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1
Allah Swt berfirman :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”
(Qs. Al-Maidah :1)
Menurut Dr. Hamzah Ya’kub bahwa antara pemilik barang dan makelar dapat
mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang di peroleh pihak
makelar. Boleh dalam bentuk prosentase dari penjualan, dan juga boleh mengambil
dari kelebihan harga ysng di tentukan oleh pemilik barang. (Mujtaba, 2007: 240)
Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam
yaitu:
1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman
terhadap pembeli
2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung
kezhaliman terhadap penjual. (Ad-duwaisyi, 2004: 124)
Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum
islam tidak bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori
mengemukakan bahwa : Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa
masalah makelar atau perantara ini tidak apa-apa.
Menurut pendapat Ibnu Abbas : bahwa tidak mengapa, seseorang berkata
“juallah ini bagiku seharga sekian, kelebihannya untukmu”. (Pasaibu, 1994: 43)
Sejalan dengan pandangan para fuqaha’ tersebut,apabila kita kembali
pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang atau mubah karena
tidak ada nash yang melarangnya.
Sekian Sob, terima kasihh :)
Sekian Sob, terima kasihh :)
0 komentar :
Posting Komentar